UMR Bukan Penjara: Menyulam Kebebasan Finansial dengan Benang Realitas
Dari Telur Asin ke Puncak Impian: Kisah Theo yang Mengajarkan Kita Merajut Hidup dengan Semangat
Bayangkan hidup ini seperti secangkir kopi—ada yang mulai dengan espresso mewah di kafe fancy, ada yang cuma punya kopi tubruk di gelas plastik. Theo, atau yang akrab disapa Ko Teo, memulai dari gelas plastik itu. Dalam podcast “Safe Space” bersama Agatta Chelsea, dia bercerita tentang perjalanan hidupnya yang penuh liku, dari anak single parent yang hidup sederhana bersama ibunya, seorang pekerja biasa, hingga jadi pengusaha pameran dan kreator konten finansial yang menginspirasi jutaan orang. “Dulu, keluarga kami bagi telur asin jadi empat, itu hidup,” kenangnya dengan tawa ringan. Dari situ, dia belajar bahwa hidup bukan soal apa yang lo punya, tapi bagaimana lo memutar apa yang ada di tangan jadi sesuatu yang berarti.
Theo nggak cuma cerita soal duit, tapi soal nyali dan ketahanan. Kuliah di Prasetya Mulya jadi taruhan besar—ibunya all-in tabungan, sisanya patungan berdua. “Kalau nggak cukup, ya DO, tapi kalau sukses, S1 jadi milik gue,” katanya penuh semangat. Dari jualan kecil-kecilan di kampus sampai bikin pameran pertama di semester 8, Theo buktiin bahwa hidup itu seperti main catur—lo bisa mulai dari pion, tapi dengan strategi tepat, lo bisa jadi raja. Pandemi 2020 memukul bisnis pamerannya sampai revenue nol, tapi dia pivot ke edukasi finansial online dan raup Rp850 juta bersih. “Hidup itu kayak layangan—angin kenceng bisa sobek, tapi kalau lo tahu cara narik benang, lo terbang tinggi,” ungkapnya penuh makna.
Passion vs Tren: Menemukan ‘Panggilan’ di Tengah Pusaran Zaman
Teoderick, entrepreneur dan konten kreator finansial, mematahkan anggapan bahwa passion identik dengan kesenangan semata. Baginya, passion adalah “panggilan” yang memaksa seseorang bertahan melewati badai konsekuensi. Ia mencontohkan perjalanannya membangun konten edukasi finansial: meski kerap dihujat komentar negatif dan menolak tawaran brand deal menggiurkan, ia tetap konsisten karena yakin dampaknya lebih besar. “Passion itu seperti sungai: mengalir deras, kadang membentur batu, tapi tujuannya jelas—memberi kehidupan,” ujarnya.
Bagi generasi muda yang galau memilih bisnis sesuai passion atau tren, Teoderick menyarankan: trend adalah momentum, passion adalah kompas. Tren bisa dimanfaatkan sebagai batu loncatan selama selaras dengan nilai inti. Misalnya, bisnis hampers di komunitas bisnis yang membutuhkan hadiah rutin. “Jangan takut mencoba tren, tapi jangan sampai kapalmu kehilangan arah hanya karena mengejar ombak,” tegasnya.
Passion Bukan Cuma Fun: Temukan Panggilan Hidupmu
Ngomongin bisnis, Agatta nanya, “Lebih baik ikut passion atau tren?” Theo jawab dengan bijak, “Passion itu bukan cuma soal fun, tapi soal apa yang lo bisa tahan konsekuensinya.” Dia cerita, jadi konten kreator finansial lahir dari keresahan—melihat banyak konten keuangan yang dipelintir demi monetisasi. “Gue mulai dari saat teduh, gelisah, lalu nyanyi ke konten,” katanya sambil tersenyum. Passion baginya seperti pohon—bukan cuma daun hijau yang cantik, tapi akar kuat yang tahan badai. Dia tahan komen negatif, tolak brand deal miliaran yang nggak sesuai value, karena tujuannya jelas: bikin dampak nyata.
Buat anak muda yang galau cari passion, Theo bilang itu proses panjang. “Lo bakal ketemu diri lo pas mulai kerja, saat idealisme ketemu realitas,” ujarnya. Dari SD sampai kuliah, hidup kita diatur—sekolah, ujian, olahraga—tapi pas lulus, dunia lelet lo buat cari tahu siapa lo sebenarnya. Ini seperti nyanyi karaoke—lo coba lagu ini itu, fals sana-sini, tapi lama-lama lo tahu nada dasar lo apa. “Coba tren boleh, asal sesuai value,” tambahnya. Hidup itu seperti palet cat—lo nggak harus langsung jadi masterpiece, tapi tiap coretan bantu lo kenal warna sejati lo.
Bisnis Bukan Buat Semua: Mental Baja Jadi Kunci
“Bisnis buat semua orang?” tanya Agatta. Theo tegas, “Enggak.” Dia cerita, bisnisnya mulai dari 2015 bukan karena cinta, tapi karena kepentok—jalan lain tertutup. “Bisnis butuh mental tahan banting dan nggak bisa diatur,” katanya. Pandemi jadi contoh: pameran tutup, stres dateng, tapi dia cepet adaptasi. “Jeda antara stres sama solusi harus pendek—karyawan makan apa kalo gue healing ke gunung 3 bulan?” candanya. Bisnis baginya seperti naik sepeda gunung—tanjakan curam bikin lo megap, tapi lo harus ganti gigi cepet biar nggak jatuh.
Theo bilang, sukses nggak harus bisnis. “Ada yang dilahirkan buat bertahan di pressure, ada yang nggak—dan itu oke,” ujarnya. Dia bandingin: kalau lo nggak bisa kelola hidup lo—hubungan, keuangan, emosi—gimana lo kelola bisnis? Ini seperti masak nasi goreng—kalau bumbu lo berantakan, nggak mungkin jadi enak, mau pake telur sepremium apa pun. Pesannya jelas: kuasai diri dulu, baru pikir bisnis. Hidup itu seperti pohon—lo butuh akar kuat sebelum cabangnya rimbun.
Mental Entrepreneur: Baja di Balik Kesuksesan
Tak semua orang cocok jadi entrepreneur. Teoderick menekankan bahwa mental tahan banting adalah syarat mutlak. Saat bisnis pamerannya kolaps, ia harus berpikir cepat untuk menghidupi karyawan dan keluarganya. “Entrepreneur ibarat nahkoda: kapal boleh oleng, tapi ia tak boleh ikut tenggelam dalam kepanikan,” ungkapnya. Tekanan seperti cicilan, tuntutan karyawan, dan ketidakpastian pasar adalah ujian harian yang hanya bisa dihadapi dengan keteguhan hati.
Ia juga mengingatkan bahwa bisnis bukan jalan instan. “Entrepreneur sukses itu seperti es batu di gurun: tampangnya dingin, tapi proses mencairnya lama dan penuh perjuangan,” candanya. Menurutnya, banyak orang terjebak ilusi “kesuksesan instan” ala media sosial, padahal kenyataannya butuh 5-10 tahun untuk membangun bisnis matang.
Cash Flow: Jantung Bisnis yang Bikin Lo Hidup
Soal bisnis, Theo bilang cash flow adalah nyawanya. “Tren itu ekstrakurikuler, passion itu kurikulum dasar,” katanya penuh analogi. Dia cerita, tiap tren—pandemi, online class—jadi momentum buat cash flow-nya luber. “Nggak ada strategi bagus tanpa cash flow sehat,” tegasnya. Bisnis pamerannya mati di 2020, tapi kelas online jadi penyelamat. Ini seperti main layangan—lo butuh angin (tren) buat naik, tapi benang kuat (cash flow) yang bikin lo stabil di udara.
“Bisnis nggak mungkin nggak ikut tren—yang nggak ambil momentum mati,” katanya. Tapi dia ingetin, cash flow terbaik dateng dari operasional, bukan utang atau investor. Contohnya, kelas online-nya cuma butuh Zoom Rp50 ribu, tapi untung ratusan juta. Hidup itu seperti memancing—lo nggak buru-buru tarik joran, tapi pastikan umpan lo tepat sasaran. Buat Theo, bisnis yang sustainable adalah yang punya cash flow tebal, bukan cuma gede di luar tapi kosong di dalam.
Menurut Teoderick, bisnis berkelanjutan harus memiliki cash flow sehat. Ia membandingkannya dengan sistem peredaran darah: jika lancar, seluruh organ bisnis berfungsi optimal. Saat pandemi menghantam bisnis pamerannya, ia tak menyerah. Alih-alih, ia pivot ke edukasi finansial melalui kelas online, menghasilkan omset Rp200 juta/bulan meski awalnya hanya mengandalkan sewa Zoom. “Cash flow adalah nyawa bisnis. Tanpanya, strategi sehebat apa pun hanya jadi mimpi siang bolong,” jelasnya.
Kunci menjaga cash flow? Fokus pada bisnis utama sebelum berekspansi. Teoderick mengkritik para pebisnis pemula yang tergoda membuka cabang atau lini baru padahal bisnis inti belum kokoh. “Bisnis itu seperti menanam padi: panen dulu satu sawah sebelum membuka lahan baru. Jangan sampai gabah di tangan tercecer karena mata tertuju pada ladang orang,” sindirnya.
UMR dan Gaya Hidup: Beda Kebutuhan dan Keinginan
Agatta nanya soal UMR—cukup nggak buat hidup? Theo jawab dengan disclaimer, “Ini sensitif, ya.” Dia bilang, “UMR nggak mungkin nggak cukup buat kebutuhan hidup—tapi gaya hidup beda cerita.” Dulu, keluarganya hidup dari telur asin dibagi empat, nasi, dan tempe—sederhana, tapi cukup. “Kebutuhan itu nasi sama telur, gaya hidup itu liburan ke Jepang,” katanya bijak. Hidup itu seperti cangkir—lo bisa isi penuh dengan air biasa dan tetap hidup, tapi kalau lo ngotot pake sirup mahal, ya harus kerja lebih keras.
Zaman sekarang, godaan gaya hidup ada di mana-mana—cicilan, diskon 11.11, sosmed. “Dulu, gue nabung bertahun-tahun baru ke Jepang. Sekarang, UMR pun nyicil buat liburan,” katanya sambil geleng-geleng. Dia bilang, itu bukan salah—tapi lo harus qualified dulu. Ini seperti naik tangga—lo nggak lompat ke lantai tiga kalau kaki lo masih di anak tangga pertama. Pesannya: bedain butuh sama mau, biar lo nggak jadi “gembel bermobil mewah.”
Teoderick blak-blakan menyatakan: UMR pasti cukup untuk kebutuhan hidup, tapi tidak untuk gaya hidup. Ia membeberkan perbedaan keduanya. “Kebutuhan hidup itu nasi, telur, dan atap di kepala. Gaya hidup? Itu liburan ke Jepang pakai cicilan 12 bulan,” sindirnya. Ia mengkritik generasi muda yang mengeluh UMR tak mencukupi, padahal pengeluaran dipaksa mengejar standar sosial.
Solusinya? Alokasi anggaran disiplin. Teoderick menganalogikan manajemen keuangan seperti lari marathon: “Kalau habiskan tenaga di kilometer pertama, kamu tak akan sampai garis akhir.” Ia menyarankan metode “amplop digital”: pisahkan 20-30% penghasilan untuk tabungan/investasi, 50% untuk kebutuhan, dan 20% untuk “kegilaan” seperti hobi atau liburan. “Boleh tergoda, tapi jangan sampai utang jadi parasit yang menggerogoti masa depan,” tegasnya.
Kelola Duit: Habit, Bukan Cuma Angka
“Gimana hindari impulsif?” tanya Agatta. Theo jawab simpel, “Jangan lawan godaan, lari.” Dia cerita, buka aplikasi diskon sama kayak nyanyi di panggung tanpa latihan—lo bakal fals. “Budgetin buat tergoda,” katanya. Misal, gaji Rp5 juta, sisihkan Rp300 ribu buat “kegilaan”—mau beli ayam dicat 200 ekor? Silakan, asal di budget. Hidup itu seperti taman—lo boleh tanam bunga warna-warni, tapi pastikan akarnya kuat dulu.
Soal detail, Theo bilang tergantung orang. “Gue tipe highlight—pisahin 20-30% buat masa depan, sisanya terserah,” katanya. Dia cerita, nabung Rp1 juta sebulan, tiga tahun jadi Rp40 juta—tanpa lo sadar, kekayaan tumbuh. Ini seperti nyanyi pelan-pelan—lo nggak lihat notnya, tapi lama-lama jadi lagu indah. “Habit nabung bikin lo kaya, bukan cuma nambah brand,” tegasnya. Duit itu seperti benih—tanam rutin, siram sabar, lama-lama jadi pohon besar.
Kaya yang Sejati: Waktu, Bukan Cuma Uang
Theo punya definisi kaya yang bikin kita mikir: “Kaya itu pas passive income lo nutup living cost.” Bukan soal mobil mewah atau cicilan gede, tapi soal bebas dari tuntutan finansial. “Sekarang, kita tukar waktu buat uang. Suatu hari, uang harus tukar waktu buat kita,” katanya penuh makna. Hidup itu seperti jam pasir—lo kerja keras buat balikin pasir ke atas, tapi kaya sejati adalah saat lo bisa lelet jamnya berhenti tanpa takut kehabisan.
Dia cerita, orang kaya beneran nggak takut duit nganggur—malah jadi opsi. “Gue dulu kaget punya Rp300 juta, pengin ganti mobil. Tapi dengan habit, lo tahan,” katanya sambil ketawa. Ini seperti main monopoli—lo nggak buru-buru beli hotel, tapi kumpulin tanah dulu biar menang besar. Pesannya: bangun habit finansial dari sekarang, biar lo nggak cuma punya duit, tapi juga waktu buat nikmatin hidup.
Kebebasan Finansial: Bukan Soal Kaya, Tapi Merdeka
Bagi Teoderick, kebebasan finansial bukan berarti berhenti bekerja, melainkan hilangnya tuntutan finansial. “Kaya itu ketika uang pasifmu bisa membiayai hidupmu. Saat itu, bekerja jadi pilihan, bukan kewajiban,” paparnya. Ia mencontohkan dirinya yang kini bisa menolak proyek tak sesuai nilai tanpa khawatir cash flow.
Untuk mencapainya, ia menekankan pentingnya habit. “Menabung Rp100 ribu/bulan selama 10 tahun lebih bermakna daripada mengejar profit 1 M dalam semalam,” ujarnya. Menurutnya, kebiasaan kecil seperti otomatiskan investasi atau hindari lifestyle inflation adalah kunci. “Kekayaan itu seperti bonsai: butuh kesabaran merawatnya tiap hari, bukan sekadar menyiram air panas agar cepat tumbuh,” analoginya.
Refleksi Hidup: Apa yang Bikin Dunia Lebih Baik?
Di sesi games, Agatta nanya, “Kalau bisa ngulang waktu, apa yang lo lakuin?” Theo jawab, “Gue nggak mau ngulang—capek jadi orang susah.” Dia takut balik ke masa sulit, bukti perjalanan dari nol bikin dia trima apa adanya sekarang. Agatta bilang, “Gue kangen kerja tanpa mikir duit—pure happiness.” Hidup itu seperti lukisan—kadang lo rindu kanvas kosong yang sederhana, tapi warna-warni sekarang bikin lo jadi karya unik.
“Kalau bikin dunia lebih baik?” Theo hayal, “Cabut sistem keuangan—kembali ke barter buah.” Agatta bilang, “Bikin semua makanan sehat, nggak rusak badan.” Mereka ketawa, tapi ada benarnya—hidup simpel tanpa nominal bikin relasi lebih manusiawi. “Kalau besok hari terakhir?” Theo jawab, “Daily routine—do the best, enjoy the best, pray for the best.” Agatta pilih keluarga. Hidup itu seperti kopi terakhir—nikmati apa adanya, sama siapa yang bikin hati hangat.
Kesimpulan dan inspirasi kopipagi
Buat lo yang pagi ini nyeruput kopi sambil mikirin hidup, Theo bisikin: “Jangan takut mulai dari telur asin dibagi empat—yang penting lo tambah bumbu tiap hari sampai jadi hidangan mewah.” Hidup itu seperti nyanyi—latihan rutin, kenali nada lo, dan suatu hari lo bakal bikin orang tepuk tangan. Bangun habit kecil, pisahin duit buat masa depan, dan pegang value lo—sebab tiap tetes keringat adalah benih buat pohon kebebasan lo nanti.
Displin itu nggak cuma soal hemat, tapi soal nyalain lampu kecil di hati saat gelap. Theo bilang: “Hidup itu layangan—angin dateng kapan aja, tapi benang kuat di tangan lo yang bikin lo terbang ke langit.” Mulai hari ini, ambil langkah kecil, nikmati proses, dan ingat: lo nggak cuma nyanyi buat hari ini, tapi buat panggung besar yang nunggu lo di depan. Semangat, bro—dunia butuh suara lo!
“Jalan menuju kebebasan finansial ibarat mendaki gunung: medannya terjal, tapi pemandangan puncak tak akan mengecewakan.” Mulailah dengan langkah kecil—alokasi anggaran, evaluasi gaya hidup, dan konsisten menabung. Ingat, “uang mengalir pada mereka yang menghargai setiap rupiah, bukan yang mengejarnya dengan panik.”
“Hidup ini bukan lomba cepat kaya, tapi perlahan membangun warisan.” Seperti Teoderick yang berangkat dari jualan item game, kesuksesan sejati lahir dari disiplin dan kesabaran. “Bukan seberapa besar penghasilanmu, tapi seberapa bijak kau mengelolanya. Di situlah letak kemerdekaan sejati.”