Sisi gelap pendidikan di Indonesia

Pendidikan yang Seharusnya Menjadi Hak, Kini Jadi Bisnis
Dalam beberapa dekade terakhir, pendidikan yang seharusnya menjadi hak dasar setiap individu telah mengalami pergeseran paradigma menjadi sebuah industri yang didominasi oleh kapitalisme. Banyak negara, termasuk Indonesia, kini menghadapi kenyataan pahit di mana sektor pendidikan lebih diwarnai oleh motif bisnis ketimbang misi mencerdaskan kehidupan bangsa. Sistem yang seharusnya dirancang untuk memberdayakan masyarakat kini justru menjadi alat bagi segelintir elit untuk meraup keuntungan.
Artikel ini akan mengupas bagaimana sistem pendidikan Indonesia mengalami kemunduran yang dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, rendahnya kualitas tenaga pengajar, serta meningkatnya privatisasi yang menciptakan kesenjangan sosial yang semakin tajam.
Bab 1: Kualitas Pendidikan Indonesia yang Terpuruk
Sebelum membahas biang kerok dari permasalahan ini, penting untuk memahami seberapa buruk kualitas pendidikan di Indonesia dibandingkan dengan negara lain. Beberapa data berikut menggambarkan kondisi nyata:
-
Rendahnya Kemampuan Literasi dan Numerasi
Berdasarkan laporan dari OECD melalui Programme for International Student Assessment (PISA), Indonesia selalu menempati peringkat 15 terburuk dari 80-an negara yang ikut serta dalam tes ini. Lebih parahnya lagi, penelitian Harvard menyebutkan bahwa Indonesia membutuhkan 128 tahun untuk mengejar ketertinggalan pendidikan dari negara maju. -
Kurangnya Kompetensi Lulusan
Data OECD juga mengungkapkan bahwa kemampuan literasi lulusan sarjana di Indonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan lulusan SMP di Denmark. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan kita gagal menghasilkan lulusan yang benar-benar kompeten untuk menghadapi persaingan global. -
Reaksi Pemerintah yang Minim Solusi
Alih-alih memperbaiki sistem, pemerintah sering kali menghindari penggunaan standar internasional seperti PISA dengan alasan bahwa standar yang digunakan tidak cocok untuk menilai dampak kebijakan pendidikan di Indonesia. Sebagai gantinya, pemerintah lebih memilih Asesmen Nasional, yang hanya mengukur dua aspek: matematika dan membaca. Sayangnya, membaca di sini tidak mencakup aspek literasi kritis yang penting untuk mencegah masyarakat mudah terpengaruh oleh hoaks dan opini tanpa dasar.
Bab 2: Kurikulum yang Tidak Pernah Berkembang
Pendidikan yang berkualitas seharusnya memiliki kurikulum yang selalu diperbarui sesuai dengan perkembangan zaman. Namun, kenyataannya, banyak institusi pendidikan di Indonesia hanya melakukan "copy-paste" kurikulum lama dengan perubahan yang sangat minim.
Sebagai contoh, seorang akademisi yang diwawancarai mengungkapkan bahwa proses pembaruan kurikulum di salah satu universitas negeri terkenal di Jawa Timur hanya sebatas mengganti angka tahun dari "2018" menjadi "2023", tanpa ada perubahan substansial. Sistem seperti ini jelas tidak akan membawa kemajuan, tetapi justru membuat kualitas pendidikan kita semakin stagnan.
Di sisi lain, akademisi lain yang menghadiri seminar pendidikan di Jerman mengungkapkan betapa jauhnya kesenjangan pengetahuan (gap of knowledge) antara mahasiswa Indonesia dengan mahasiswa dari negara maju. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan kita tidak hanya tertinggal, tetapi juga tidak siap untuk bersaing di tingkat global.
Bab 3: Gaji Guru yang Rendah, Kualitas Pendidikan yang Merosot
Salah satu faktor utama yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah rendahnya kesejahteraan tenaga pengajar. Bagaimana mungkin seorang guru bisa mengajar dengan maksimal jika mereka sendiri hidup dalam kesulitan finansial?
-
Gaji Guru yang Tidak Layak
Gaji guru honorer di Indonesia bisa serendah Rp250.000 per bulan, bahkan untuk guru yang lebih senior hanya mencapai Rp1,2 juta - Rp1,7 juta per bulan. Dengan pendapatan sekecil ini, banyak guru yang akhirnya terjebak dalam utang pinjaman online (pinjol) demi memenuhi kebutuhan hidup mereka. -
Dosen yang Juga Menderita
Kondisi serupa juga dialami oleh dosen. Banyak akademisi yang memiliki kualifikasi tinggi akhirnya memilih bekerja di sektor lain karena gaji yang tidak sebanding dengan tingkat pendidikan mereka. -
Minimnya Anggaran untuk Pendidikan
Meskipun secara teori anggaran pendidikan dalam APBN cukup besar, realitanya, hanya sekitar 3% yang benar-benar dialokasikan ke sekolah-sekolah dan universitas. Sisanya? Banyak yang terserap ke birokrasi, bahkan berujung pada korupsi.
Bab 4: Privatisasi Pendidikan dan Munculnya Sekolah Elit
Karena pendidikan negeri semakin terpuruk, masyarakat yang mampu mulai beralih ke sekolah swasta, yang memiliki fasilitas lebih baik dan tenaga pengajar yang lebih berkualitas. Sayangnya, ini hanya menciptakan kesenjangan baru:
-
Sekolah Swasta yang Mahal
Beberapa sekolah swasta elit di Indonesia memiliki biaya yang sangat tinggi. Sebagai contoh: -
New Zealand Independent School (NZIS): Biaya per tahun mencapai Rp195 juta.
-
Jakarta Intercultural School (JIS): Biaya bisa mencapai Rp300 juta per tahun.
-
British School Jakarta: Memiliki fasilitas yang sangat lengkap, tetapi hanya bisa diakses oleh kalangan atas.
-
Kualitas yang Tidak Seimbang
Sekolah swasta dapat menawarkan lingkungan belajar yang lebih kondusif, jumlah siswa yang lebih sedikit, serta guru yang lebih berkualitas. Sebaliknya, di sekolah negeri, satu kelas bisa berisi 40-60 siswa dengan tenaga pengajar yang kurang memadai. -
Efek Jangka Panjang
Akibatnya, sistem pendidikan kita secara tidak langsung menciptakan sistem apartheid pendidikan, di mana anak-anak dari keluarga kaya mendapatkan akses ke pendidikan berkualitas, sementara anak-anak dari keluarga miskin harus puas dengan sistem yang serba terbatas. Ini memperburuk ketimpangan sosial dan mempersempit peluang mobilitas ekonomi bagi kelompok masyarakat bawah.
Bab 5: Universitas Negeri Juga Mulai Berbisnis
Tidak hanya sekolah dasar dan menengah, kini universitas negeri pun mulai mengadopsi model bisnis demi bertahan dalam persaingan. Salah satu kebijakan yang menuai banyak kritik adalah kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT). Dengan kebijakan baru, beberapa universitas bahkan memberlakukan UKT hingga Rp30 juta per semester, yang tentunya membuat pendidikan semakin tidak terjangkau bagi masyarakat kelas bawah.
Bahkan, pemerintah kini menggagas student loan atau pinjaman pendidikan, mirip dengan sistem di Amerika Serikat. Namun, di AS sendiri, student loan justru menjadi beban ekonomi terbesar bagi generasi muda, yang terjebak dalam utang hingga puluhan tahun setelah lulus.
Bab 6: Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Mengingat situasi yang semakin sulit, ada beberapa langkah yang bisa diambil oleh individu untuk tetap bertahan:
-
Jadikan Pendidikan Sebagai Tanggung Jawab Pribadi
Jangan berharap sistem akan berubah dalam waktu dekat. Mulailah belajar secara mandiri, baik melalui buku, kursus online, atau sumber lainnya. -
Fokus pada Skill yang Dibutuhkan Pasar
Di era ini, kemampuan komunikasi dan keterampilan praktis jauh lebih penting dibandingkan sekadar memiliki gelar akademik. -
Bangun Jaringan dan Pengalaman
Pendidikan formal penting, tetapi pengalaman dan koneksi juga berperan besar dalam menentukan kesuksesan seseorang.
Kesimpulan: Pendidikan sebagai Alat Kapitalisme
Sistem pendidikan Indonesia kini telah berubah menjadi industri yang lebih mementingkan keuntungan dibandingkan misinya untuk mencerdaskan bangsa. Jika tidak ada perubahan signifikan, maka kesenjangan sosial akan semakin melebar, dan generasi mendatang akan semakin sulit untuk keluar dari lingkaran kemiskinan.